Free Thinking

Berfilsafat dalam Distorsi Pemikiran

Entah kenapa saya sering terkoneksi dengan sesuatu yang saya dengar, saya lihat, saya baca seperti sesuatu nyata dan pernah terjadi. Berkebalikan dengan itu, perasaan nyata yang hadir dihadapan terkadang tampak asing, tiba-tiba tak mengenal. Seperti ketika terbangun satu detik tiba-tiba segalanya asing, dan seketika bertanya. “Siapa aku? Kenapa aku di sini? Mengapa aku di sini?” dan pertanyaan membingungkan lain seperti jiwa ini baru saja masuk ke dalam dalam jasad yang lain.

Entah karena apa, saya masih mencari alasannya. Bahkan saya sampai pernah mengetikkan beberapa keywords di mesin pencarian tentang “sering tiba-tiba lupa tentang diri”, “lupa siapa aku” dan kalimat-kalimat bodoh lainnya yang ternyata tak ada satu tautan pun membahasnya. Sepertinya tak ada seorang pun yang membahas bahasan bodoh yang sering menghantui diri saya.

Thought Distortion. Mungkin begitulah mungkin istilahnya. Bahkan sempat berpikir apa ini simptom dari Alzheimer atau whatever, whatever, tapi tidak mungkin sengeri itu. Jadilah saya putuskan untuk mengaitkan hal ini dengan sesuatu yang samar-samar sama secara pengertian. Kesimpulannya adalah bahwa saya sedang berfilsafat secara tidak sadar. Bukankah terdengar lebih mencengangkan?

Filsafat sendiri adalah tentang berpikir. Berpikir sesuatu yang rumit hingga melebihi batas pikir manusia sehingga seperti susah untuk dipahami orang kebanyakan. Berpikir tentang hal tak realistis bahkan sering dianggap sebagai pertanyaan bodoh dan konyol. Berpikir tentang hal kecil yang sering terabaikan oleh manusia namun dari hal kecil tersebut muncullah grand design yang menyentak akal para filsuf jaman dahulu.

Seperti pertanyaan yang membutuhkan jawaban, sekali mendapat jawaban maka akan muncul pertanyaan lebih kompleks lainnya. That’s how philosophy works!

Bukankah gila namanya jika manusia menanyakan pada dirinya sendiri tentang “Siapa aku? Mengapa aku di sini? Kenapa aku di sini?”? Saya rasa tidak! Manusia bukanlah tentang sebuah entitas yang tampak saja, bukan hanya sekedar yang dapat terlihat oleh mata. Lebih dari itu, manusia adalah sebuah esensi jiwa yang abadi yang terus membentuk diri.

Ketika manusia sedang asik bergelut dengan esensi dalam dirinya dan dalam sekejap dunia nyata datang, maka sebuah distorsi diri akan terjadi. Seperti manusia mempunyai sebuah jiwa yang terkurung dalam raga yang seringnya menipu, memberikan masalah, memberikan sebuah wujud fana. Walaupun tak dapat terpungkiri bahwa, keberadaan manusia untuk sampai pada kata exist perlu kombinasi antara keduanya. Raga dan Jiwa.

Manusia perlu membersihkan diri untuk melepaskan diri dari sesuatu yang bersifat ragaah, yang tampak, yang terlihat, untuk lebih bisa mendapatkan kebahagiaan abadi. Karena kebahagiaan abadi adalah dalam jiwa, dalam hati yang kadang terhalangi oleh eksistensi dari raga. Kadang terpikir, apakah bisa manusia pergi sejenak secara sadar dan meninggalkan raga bermassa untuk sekedar melayang terbang dan menemui kebahagiaan sejati tanpa terkungkung?

Jawabnya mungkin bisa dengan konsekuensi jawaban ekstrim yaitu kematian. Namun bisakah itu terjadi tanpa sebuah konsekuensi? Hanya sebentar pergi dan selanjutnya kembali secara sadar dan bukan dalam mimpi?

Saya pernah membaca bagaimana orang-orang jaman dahulu dapat terkoneksi secara batin dengan orang lain yang terpisahkan oleh dimensi ruang dan waktu, bahkan dimensi kuantum energy. Mereka bisa melakukan hal tersebut karena jiwa mereka bersih. Orientasinya berupa jiwa bukan lagi berpikir tentang raga. Semuanya karena jiwanya telah terkoneksi dengan sesuatu Yang Lebih Besar daripada dirinya sendiri. Dan untuk sampai pada taraf terkoneksi secara batin, perlu sebuah ilmu yang saya kira ilmu itu telah menghilang bersamaan saat tanah mulai mengubur jasad mereka.

Mungkin benar jika sekarang manusia juga dapat terkoneksi dengan orang lain diluar dimensi ruang dan waktu. Dengan adanya sebuah alat serba canggih yang mampu menghubungkan orang tanpa batas. Namun tanpa disadari, kekuatan manusia untuk mempunyai batin peka akan sangat begitu susah ditemukan jika itu bukan merupaka sebuah keistimewaan atau born-to-be-gifted. Batin manusia tidak lagi peka, manusia tidak lagi dapat mendengar secara batin karena tertutup dengan sesuatu yang lebih nyata terlihat.

Aah, entah apa ini yang saya tuliskan. Yang jelas, saya masih berada dalam tanda tanya besar tentang what’s going on with myself. Tapi biarlah pertanyaan itu berakhir dalam kesimpulan, saya sedang berfilsafat. Walaupun bukan hal besar yang saya pertanyakan, namun dengan bertanya tentang siapa diri mungkin akan semakin pula saya bisa mengenal diri sendiri. insyaAllah! – Tutut Indah Widyawati [Stay Walk in Faith]

Leave a comment