Uncategorized

Takdir Merantau

Tiga puluh tahun. Satu hari pun tidak pernah merasakan rasanya hidup di rantau. Emm, sepertinya pernah, satu bulan lebih. Saat harus menjalankan KKN di kaki gunung wilis. Itu pun masih bisa pulang, bukan benar-benar tinggal di rantau. Jadi, kesimpulannya tetap kembali pada kalimat kedua diparagraf ini. Satu tahun lalu, pada akhirnya, Allah mentakdirkanku untuk menjadi anak rantau. Merantau yang sekali kau beranjal pergi tidak akan bisa kembali lagi. Seperti mati.

Sedari lahir, Allah seperti memberikan jalan hidup yang berbeda buatku. Saat kecil, jika hari minggu tiba, disaat teman-teman sebaya mempunyai jadwal berkunjung ke rumah nenek mereka masing-masing, aku hanya di rumah atau jika pun keluar tujuannya bukan rumah nenek karena mereka berempat sudah tiada sejak aku masih kecil. Ya, aku anak bungsu sebungsu-bungsunya. Aku lahir disaat bapak sudah berusia 55 tahun. Bapak lahir 1936, aku lahir 1991. Sedangkan ayah bapakku lahir di tahun yang sama dimana Pak Soekarno dilahirkan, 1901. Terpaut satu abad lamanya jarak lahir antara aku dan kakekku dari bapak.
Kakek dari ibu pun sudah tiada bahkan jauh sebelum aku lahir. Jadi aku hanya berkesempatan bertemu satu-satunya nenek dari ibu, itu pun saat aku masih 6 tahun, beliau sudah wafat. Jadi, sedikitpun aku tak punya pengalaman berkunjung ke rumah nenek di hari minggu.

Sama seperti merantau, aku nol pengalaman dalam hal kata rantau. Di saat semua teman sekolah pergi kuliah di berbagai kota di Indonesia, aku tetap menetap di sini, di Kediri. Karena aku harus mendampingi Bapak dan Ibuku yang sakit di rumah. Jadi saat itu aku berpikir, kesempatanku untuk bisa merantau hanya satu, yaitu Jodohku harus dari luar kota atau bekerja di luar kota. Tetapi kesempatan terakhir itu pun sirna. Aku menikah dengan orang yang satu kota. Jadilah kesempatan terakhirku untuk bisa merasakan rantau sudah pupus. Bukan apa-apa tetapi kakek keponakanku meminta suamiku berjanji, “aku restui kamu dengan cucuku, asalkan harus tinggal di sini”
Titah itu membuatku tertancap pasti di rumah masa kecilku hingga nanti tua dan matiku. Sedikitpun tak ada pikiran atau gambaran bagaimana nanti bisa pindah karena disitulah aku tumbuh, disitulaj aku harus hidup. Karena aku anak terakhir yang menurut tradisi, anak terakhir harus bersedia untuk “bangkoni” rumah atau menempati rumah warisan orang tua.
Namun sekali lagi. Jika Allah berkehendak, maka sekalipun yang terlihat sebagai ketetapan akan berubah dalam hitungan waktu. Akhirnya, aku pindah.

Pada awalnya mengerikan, banyak tangis, kalang kabut, selalu menangis, karena sedikitpun tak ada gambaran, tak ada pengalaman. Harus pindah kemana? Jawabannya tidak tau.
Kata orang, tanah itu seperti jodoh. Sekalipun kita tidak bisa memilih melainkan sudah ditetapkan. Karena kata orang juga, tanah dimana engkau diambil adalah tanah yang sama dimana engkau nanti dikuburkan. Seluruh rangkaian hidup jadi seperti ada jalinan takdir yang tak terlihat satu sama lain. Mengerikan!
Lantas, Bu Nyai saya memberikan nasehat. Mintalah kepada Allah tempat yang barokah, dimana pun itu. Doanya adalah Al-Quran surat Al-Mu’minun ayat 29.
Dimana pun ya Allah, asal berikah barokah didalamnya. Tak lama, kami pun menemukan tanah yang nantinya kami bangun kehidupan diatasnya.

Rasanya nelangsa, karena tau, sekali pergi dari rumah masa kecilku, ketika kembali tak akan sama lagi. Bahkan sekali pergi tak akan bisa kembali lagi. Karena tidak ada alasan untuk kembali lagi. Tidak ada bapak, tidak ada ibu. Hanya bangunan yang setiap sudutnya dipenuhi milyaran kenangan. Ternyata apa? Allah mendengarkan setiap keinginan hamba-Nya sekalipun hamba-Nya tidak berusaha sedikitpun untuk mewujudkan. Jika Allah berkehendak, gunung yang besarpun akan dibalikkan dengan sepatah kata titah-Nya.

Dan disinilah aku, anak rantau baru yang sudah tidak bisa pulang lagi ke masa kecilnya. Hanya bisa menatap berjalan kedepan terus tanpa bisa menengok ke belakang.

Purworejo, 15 Ramadhan 1444 H, 11.00 pm.

Leave a comment